Jumat, 23 April 2010

Ilmu Nahwu : Kitab Jurrumiyah

Matan kitab “Aj-jurrumiyah” ; merupakan kitab dasar dalam fan ilmu nahwu, karangan Abu Abdulloh Muhammad bin Muhammad bin Dawud Ash-Shinhajie Rohimahulloh (Ada yang menyebut Imam Shonhaji).
Kitab ini salah satu matan yang biasa dipakai oleh kalangan pesantren untuk pembelajaran dasar-dasar ilmu nahwu bagi pemula, dalam mengawali pembelajaran fan ilmu alat lebih lanjut.
Dalam setiap sorogan, santri dituntut paham dan mampu menghapal tiap kaidah-kaidahnya, agar memudahkan pemahaman materi selanjutnya.
Al-kisah diceritakan, Syeikh Imam Al-Sinhaji pengarang kitab ini ; tatkala telah rampung menulis kaidah-kaidah ilmu nahwu dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur.
Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Jurrumiyah, jurrumiyah” (mengalirlah wahai air ! ). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah kitab matan “Jurrumiyah” yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pemula dalam mendalami ilmu nahwu di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal. (Wallohu ‘Alam) – ;)
Materi lengkap kitab klik PDF :  8-alajorromiyyah

Ilmu Nahwu : Filsafat Ilmu Nahwu

Dalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Bersatu Kita Terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:
الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى
“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5, Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .
Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:
سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجري لم يطب
Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan ; Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya ; Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:
فاذا فرغت فانصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).
Wallahu’alam
*) H. Muhammad Jamhuri, Lc MA. Adalah Alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman Angkatan 11 (th 1990), Kini tinggal di Kota Tangerang dengan amanah sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Asy-Syukriyyah-Tangerang. Makalah ditulis di Makkah Al Mukarramah, Rabu 5 Sya’ban 1421H/1 Nopember 2000 M.

Humor Santri : Masuk Surga Karena Ilmu Nahwu

As-sibawaih yang memiliki nama asli Amr ibn Abbas adalah salah satu tokoh ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu terutama ilmu tata bahasa Arab yang dikenal dengan nama Nahwu. Beberapa hari setelah meninggalnya ulama yang dikenal sebagai orang yang tubuhnya mengeluarkan aroma buah apel ini, salah seorang sahabat beliau bermimpi bertemu dengannya yang tengah menikmati kemegahan di alamnya.
Sang Sahabat melihat Imam Sibawaih sedang memakai pakaian yang sangat mewah dengan hidangan beraneka warna disekitarnya serta dikelilingi oleh beberapa bidadari rupawan di sebuah tempat yang sangat indah mempesona.Sahabat itupun bertanya kepada Imam Sibawaih, gerangan apa yang membuatnya menerima kemulyaan begitu rupa. Imam Sibawaih kemudian menceritakan pengalamannya ketika ditanya oleh malaikat di dalam kubur.
Ketika malaikat sudah menanyakan pertanyaan-pertanyaan kubur yang seluruhnya dapat dijawab dengan baik, malaikat bertanya kepadanya :
“Tahukah anda, perbuatan apa yang telah membuat anda bisa menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan kami tadi?”
“Apakah karena ibadah saya?” Imam Sibawaih mencoba menebak.
“Bukan itu!” kata Malaikat.
“Apakah karena ilmu saya?”
“Bukan itu!”
“Apakah karena karangan-karangan saya?”
“Bukan!”
”Berbagai jawaban yang diberikan oleh Imam Sibawaih tidak ada yang dibenarkan oleh Malaikat.
Hingga akhirnya Imam Sibawaih menyerah karena tidak mengetahui jawaban sebenarnya.
“Allah SWT telah menyelamatkan anda sehingga anda dapat menjawab pertanyaan kubur dengan baik adalah karena pendapat anda yang menyatakan bahwa yang paling ma’rifat dari semua isim ma’rifat adalah lafazh jalalah”. Kata Malaikat menerangkan.
(Imam Asy-Syarwani dalam mukadimahnya Hawasyi Asy-Syarwani)
Ref. ;  Sidogiri.net ; NU-Online

Ilmu Nahwu : Sejarah Asal Mula Ilmu Nahwu

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi.
Lalu, bagaimana sebenarnya awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu?. Simak artikel berikut.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib, KW.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…
****
Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Referensi : Al-Qowaaidul Asaasiyyah Lil Lughotil Arobiyyah

Ilmu Nahwu dan Abu Aswad Ad-Dhuali

Saudaraku yang baik, ketika kita berkunjung ke sebuah toko buku (maktabah) dan berhenti di depan tatanan buku (baca; kitab) gramatikal bahasa Arab (an-Nahwu). Seketika itu juga, kita berdecak kagum pada para ulama yang mampu menulis buku berjilid-jilid, sehingga timbul keinginan kita untuk membeli dan mendalaminya. Namun, ada sutu hal yang terlebih penting sebelum mendalami sebuah buku. Yaitu, mengenal dasar-dasar ilmu yang sepuluh (Al-Mabadi Al-Asyarah) dari buku tersebut. Diantaranya, mengenal siapa pelopor ilmu tersebut. Ilmu Nahwu merupakan ilmu yang pertama kali dibukukan dalam Islam, karena berkaitan dengan memelihara lisan dari kesalahan ketika membaca al-Qur an. Disamping itu, ilmu Nahwu juga termasuk kategori ilmu pembantu dalam mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Misalnya, ilmu Usul Fiqh, Tafsir, Fiqh, Mantiq dan lain-lainnya.

Penamaan Ilmu Nahwu, pengarang dan perkembangannya.


Ketika Islam mampu mengembangkan sayapnya ke belahan dunia. Maka, secara otomatis bahasa arab juga ikut andil dalam hal itu. Karena disamping sebagai bahasa resmi umat islam terutama shalat, juga Negara Arab sebagai tempat turunnya agama Islam, yang ketika itu Makkah sebagai daerahnya. Karena itu, bahasa arab akhirnya banyak yang ingin mempelajarinya sehingga tidak terlepaslah dari percampuran dengan bahasa lain yang secara pasti akan merubah susunan gramatikalnya. Akhirnya, fenomena ini menjadi perhatian penting pencinta dan pemerhati bahasa arab sendiri, karena seringnya mereka menemukan kesalahan (lahn) dalam berbicara dan penulisan. Hal ini terjadi, tidak lepas karena orang non arab (azam) dalam berbicara keseharian masih selalu menggunakan bahasa
negaranya sendiri, sehingga ketika berbicara dengan orang yang berketurunan arab selalu terdapat kesalahan dalam melafalkan kalimat.

Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Abu Al-Aswad Ad-Dhual sebagai pencinta dan pemerhati bahasa arab yang tinggal di negeri Basrah (sekarang, Irak) pernah menemukan seorang qori sedang mentilawahkan al-Qur an. Ketika itu, qori tersebut membaca kata "rasuulihi" yang terdapat dalam ayat "innallaaha bariiun minalmusyrikiin wa rasuuluhu"� dengan berbaris bawah (kasrah) dengan maksud meng'athaf kannya kepada kata" al-musyrikiin". Dan dalam riwayat yang lain, suatu malam Abu Al-Aswad Al-Dhual sedang duduk di balkon bersama putri kesayangannya, ketika sang putri melihat bintang-bintang di langit begitu indah sekali dengan menimbulkan cahaya yang gemilang, sehingga timbul kekagumannya dan mengatakan "ma ahsannus sama a" sebagai badal dari kalimat kagum (ta'azzub) yang seharusnya "ma ahsanasama i". Dan telah banyak ia mendengar keselahan-kesalahan masyarakat pada waktu itu dalam berbicara, sehingga timbul kekhawatirannya akan rusaknya estetika gramatikal bahasa arab dari wujud� aslinya. Kemudian ia pergi mengadukan hal-hal yang pernah ditemukannya, yang berkaitan dengan kerusakan estetika gramatikal bahasa arab kepada Saidina Ali Ra.

Aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah).
Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) tersebut: aliran (madrasah) Al-Basrah, Kufah, Baghdad, Andalus dan Mesir. Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah.

Aliran (Madrasah) Basrah.
Aliran (Madrasah) ini berkembang pesat hingga terkenal di kalangan para ulama nahwu (Nahwiyyiin), dikarenakan begitu semangat dan gigihnya para pelajar (thalib) dalam mempelajari ilmu nahwu yang langsung diajar oleh penyusun kitab nahwu pertama kali, Abu Aswad ad-Dhuali. Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami ilmu nahwu, ketika itu Negeri Basrah telah bercampur penduduknya antara pribumi (baca; warga Basrah) dengan non pribumi (azam) yang hidup layaknya seperti penduduk asli. Bahasa arab merupakan bahasa resmi negara pada waktu itu, namun karena adanya percampuran non pribumi dalam negeri itu yang secara otomatis mengakibatkan adanya kerusakan dalam susunan tata bahasa arab. Sibawaihi merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah mengarang buku nahwu yang berjudul "al-Kitab". Diantara ciri khas aliran (madrasah) Basrah selalu berpegang pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat khilaf. Jika terdapat yang menyalahi jumhur mereka takwilkan� atau menggolongkannya sebagai kelompok yang ganjil (syaz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan sima'i dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab. Aliran (Madrasah) Kufah.

Negeri Kufah terkenal sebagai Negerinya para Muhadditsin, Penyair dan Qira ah. Sehingga terdapat di dalamnya tiga ulama yang masyhur dalam qira ah seperti kisai, Ashim Bin Abi Al-Nujud dan Hamzah. Kisaai termasuk pendiri aliran (Madrasah) Kufah. Penadapatnya terhadap suatu masalah dalam gramatikal bahasa arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya maupun yang lainnya. Ciri khas aliran (madrsah) ini, lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa� arab. Jadi, begitu indahnya bahasa arab memiliki pemerhati bahasa yang mampu menjaga estetika bahasa itu sendiri. Bagaimana dengan bahasa Indonesia, akankah tetap memiliki estetika bahasa yang tinggi? Semoga!

Tulisan ini disarikan dari kitab Mujaz Tarikh an-Nahwu, Taufiq Amr Balthoh zi,
cetakan I, maktabah Dar al-Syaikh amin kuftaru.

ilmu nahu

Dasar-Dasar Ilmu Nahwu

In Bahasa Arab on October 27, 2005 at 10:48 am Dasar-Dasar Ilmu Nahwu
Fikar
Kunci dalam mempelajari bahasa adalah banyaknya kosa kata yang dimiliki (dihafal) dan menerapkannya di dalam kalimat, dengan demikian ia akan mampu berbahasa dalam bahasa tersebut, namun hal itu belum menjamin keselamatan ungkapan dari kefahaman dan ketidak fahaman pendengar atau lawan berbicara yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan suatu kaedah, terutama dalam bahasa arab yang penuh dengan berbagai macam kaedah yang mana bila salah dalam menggunakannya maka akan berakibat fatal terhadap arti dan maksud dari ungkapan tersebut. Untuk itu secara singkat, saya akan menjelaskan sedikit dasar-dasar dari kaedah umum bahasa arab (Nahwu) yang kiranya dapat membantu dalam mempelajari bahasa arab.

Dalam bebicara dan menyampaikan maksud kepada orang lain, tidak akan terlepas dari untaian kata-kata yang terangkai dalam suatu kalimat, dalam bahasa arabnya disebut dengan الكلام yaitu kalimat sempurna, terdiri dari dua kata atau lebih, baik terdiri dari dua isim (kata benda), misalnya الاتحاد قوة (Persatuan adalah power), atau terdiri dari Fiíl (kata kerja) dan Isim (kata benda), misalnya عاد المسافر (telah kembali para musafir), atau terdiri dari Fiíl amr misalnya, استَقِمْ dan faílnya Dhamir tersembunyi (mustatir). Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kalimat tesusun dari beberapa kata dan mempunyai arti yang sempurna.

Kata الكلمة secara bahasa berasal dari kata كلم yang berarti melukai dengan anggota tubuh جرح kemudian arti tersebut lebih dikhususkan pada Lafadz yang diletakkan terhadap arti tertentu. Kadang kata الكلمة yang digunakan namun makna yang dimaksudkan adalah Kalimat, misalnya dalam Al Quran: (كلا إنَّها كلمة هو قائلها)Lafadz اللفظ mencakup الكلمة dan الكلام yaitu suara yang terdiri dari beberapa huruf, sedangkan القول yaitu apa-apa yang diucapkan baik itu sempurna maupun tidak sempurna.

Macam-macam kata
Setiap kalimat tersusun dari beberapa kata yang mempunyai arti yang mana dapat menunjukkan akan kedudakan dari kata tersebut di dalam kalimat, misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah SPO (subjek, predikat dan objek), begitu pun halnya dalam bahasa Arab. Sebelum mengetahui kedudukan kata, terlebih dahulu kita mengenal macam-macam kata dan pembagiannya dalam bahasa Arab guna membantu dalam memahami dan mengetahui kedudakannya di dalam sebuah kalimat. Kata di dalam bahasa Arab terbagi menjadi tiga, yaitu:

Isim الاسم (Kata benda)
Isim secara bahasa adalah nama, yaitu sebutan yang menunjukkan suatu yang dinamakan, apakah sebutan itu pada jenis atau pada unsurnya. Manusia ناس atau رَجُل adalah nama untuk suatu jenis yang dinamakan manusia atau laki-laki, dan Ahmad أحْمد adalah nama untuk individu yang dinamakan Ahmad. Semua kata ini adalah Isim. Dalam pengertian yang paling sederhana merujuk padanan dalam bahasa Indonesia, maka Isim adalah nominal. Sedangkan dalam istilah Nahwu, Isim adalah suatu kata yang menunjukkan makna tersendiri dan tidak terikat dengan waktu.
Bagaimana kita bisa mengetahui suatu kata dalam bahasa Arab itu adalah Isim? Sedangkan kita selagi pertama kali belajar Nahwu tidak mengetahui makna kata tersebut dan tidak juga mengetahui apakah suatu kata mengandung makna yang terikat dengan waktu atau tidak. Caranya adalah dengan mengetahui tanda-tanda Isim pada suatu kata yang membedakannya dari dua jenis kata lainnya. Setiap kata yang mengandung atau bisa menerima salah satu dari tanda-tanda tersebut, maka kata tersebut adalah Isim.
Tanda-Tanda Isim
Ada beberapa tanda yang terletak pada suatu kata yang menunjukkan bahwa jenis kata tersebut adalah Isim. Tanda-tanda Isim tersebut adalah:
A. Tanda dari segi artinya
Untuk mengetahui apakah kata tersebut termasuk isim, dapat dilihat dari maknanya, atau kata tersebut bisa disandarkan kepada kata yang lain baik dia itu subjek (fail) atau pemulaan kalimat (mubtada). Contohnya عاد المسافرون isim di dini bersandar pada fiíl (kata kerja) yang menunjukkan ia adalah fail, contoh mubtadaمسافر خالد.
B. Tanda dari segi Lafadznya
  1. Tanwin التنوين yaitu bunyi nun sukun pada akhir kalimat yang ditandai dengan harakat double ــًـ ــٍـ ــٌـ. Contohnya, خالدٌ atau زيدٍ,dan قانتاتٍ. Maka kata-kata dalam semua contoh ini adalah Isim karena boleh dimasuki oleh tanwin. Tanwin secara garis besarnya terbagi menjadi, Pertama: Tanwin tamkin تمكين yaitu tanwin yang diikutkan kepada isim mu’rab, contoh محمدٌ. Kedua: Tanwin Tankir تنكير yang mengikuti isim ma’rifah (yang pasti) menjadikannya nakirah (belum pasti) contoh, سيبويهِ (nama ahli nahwu). Ketiga: Tanwin Muqabalah المقابلة yang diikutkan kepada Jamak muannas salim (jamak untuk perempuan) contohnya, قانتاتٍ disamakan dengan Nun yang ada pada Jamak Muzakkar Salim (jamak untuk laki-laki) قانتون. Keempat: Tanwin Ta’wid العِوَض (pengganti) yang diikutkan pada sebagian kata sebagai pengganti terhadap apa yang dihapus dan dihilangkan, baik sebagai pengganti dari huruf yang dihilangkan, contohnya راعٍ جاء kata rain ditanwinkan sebagai pengganti huruf YA yang dihilangkan, aslinya adalah راعي. Ataukah pengganti dari kata yang dihapus, misalnya kata-kata yang terletak setelak Kullu dan Ba’dhu yang terhapus kata yang disandarkan padanya كلٍّ منهم asalnya adalah كل واحد منهم. Ataupun sebagai pengganti dari kalimat yang dihilangkan, contoh زرتني قبل سنتين وكنت حينئذٍ أعمل في الجامعة (dua tahun lalu, engkau menziarahiku dan pada saat itu saya bekerja universitas), kata Hinaizin ditanwinkan karena menggantin kalimat yang hilang, asalnya adalah حينئذ زرتني.

  1. Dapat dimasuki dan dihubungkan dengan Alif dan Lam, ألـ pada awal kata. Setiap kata yang didahului oleh AL atau boleh menerima AL, maka kata tersebut adalah Isim. Contohnya, الكاتب = seorang penulis, المؤمن = orang mukmin, المسافر = orang yang bepergian. Semua kata ini adalah Isim ditandai dengan adanya AL di awal kata.

  1. Dapat dimasuki oleh Jarr الجر. Baik jarr disebabkan oleh adanya huruf jarr maupun karena Idhafah. Contohnya, الحراس على السطحِ , kata Sathi dibaca kasrah karena dimasuki oleh huruf jar yaitu Ála. Contoh Idhafah كتاب الطالبِ kata At Thalibi dibaca kasrah (jarr) karena bersandar kepada buku. Huruf-huruf Jarr adalah مِن = dari (permulaan), إلي = ke, kepada, عَن = dari (lepas, meninggalkan), علي = atas, في = di, di dalam, رُبَّ = barangkali, kadang-kadang [;sedikit atau banyak], الباء = dengan, الكاف = seperti [penyerupaan], اللام = untuk. Dan termasuk juga huruf-huruf sumpah حروف القسم, yaitu; الواو hanya untuk Isim Zhahir,[2] الباء untuk Isim Zhahir dan Dhamir, dan التاء khusus dengan kata الله. Contohnya; واللهِ, بِاللهِِ, تَاللهِ, semuanya bermakna Demi Allah.

  1. Boleh dimasuki oleh Harf Nida (panggilan) contoh, يا زيدُ (Hai Zaid) dimasuki oleh Ya harf nida, contoh lain, يا عبدَاللهِ.

  1. Kata tersebut dapat dirubah bentuknya menjadi bentuk Tashgir التصغير (mengecilkan) contoh, جبل (gunung) menjadi جبيل(gunung kecil), contoh lain, عصفور menjadi عُصَيْفِير.

  1. Kata tersebut dapat dijadikan Musanna (yang menunjukan atas dua) dan jamak. Contoh, طالبان، طلاب، طالبون، طالبات

Tanda-tanda Fi’il الفِعل

Fi’il secara bahasa berarti kejadian atau pekerjaan. Dan padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata kerja atau verbal. Sedangkan dalam istilah Nahwu, Fi’il adalah kata yang menunjukkan suatu makna tersendiri dan terikat dengan salah satu dari tiga bentuk waktu; masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Contohnya كَتَبَ adalah kata yang menunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa yang telah lalu, يَكْتُبُ adalah kata yang memnunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa sekarang, dan أكتُبْ juga adalah kata yang menunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa yang akan datang. Demikian juga contoh-contoh lain seperti نَصَرَ ينصُر انصُر = menolong, عَلِم يعلَم اعْلَمْ = mengetahui, جلَس يجلِس اجلِسْ = duduk, ضرَب يضرِب اضرِبْ = memukul, فهِم يفهَم افهَم = mengerti, memahami.
Perubahan bentuk dari setiap kata-kata dalam Bahasa Arab merupakan pembahasan Ilmu Sharaf atau dalam istilah yang lebih luas; Morphologi. Sedangkan dalam Ilmu Nahwu, unsur utama yang diperhatikan adalah kedudukan kata tersebut dalam struktur kalimat. Meskipun setiap kata dasar dalam bahasa Arab banyak mempunyai varian bentuk kata sesuai dengan kegunaan dan maknanya masing-masing, yang paling penting dalam Ilmu Nahwu adalah jenis-jenis semua kata tersebut dikelompokkan dalam tiga jenis saja, yaitu; Isim, Fi’il, dan Huruf.
Demikian juga, pembagian fi’il dalam Ilmu Nahwu terbatas pada tiga macam saja, yaitu kata kerja yang menunjukkan kejadian di masa lalu, kata kerja masa sekarang, dan kata kerja perintah. Dengan demikian, jenis-jenis Fi’il adalah:
  1. Fi’il Madhi الفعل الماضي yaitu kata kerja yang menunjukkan suatu pekerjaan atau kejadian yang berlangsung pada masa sebelum waktu penuturan. Contoh, خطب , سمِع , انْطَلَقَ , اسْتَعملَ .Tanda-tandanya dari segi arti yaitu menunjukkan suatu pekerjaan atau kejadian yang berlangsung pada masa sebelum waktu penuturan. Adapun tanda-tandanya secara Lafdzi yaitu: Pertama: dapat dimasuki oleh Lam لـ . Kedua: Dapat dimasuki oleh Ta Al Faíl, contoh سافرتُ سافرتَ سافرتِ . Ketiga: dapat dimasuki oleh Ta ta’nis sakinah, contoh, استمعتْ سافرتْ جلستْ عادتْ. Hukum fiíl Madhi dalm I’rab adalah Mabni (tidak berubah harakah akhir hurufnya).
  2. Fi’il Mudhari’ الفعل المضارع yaitu kata kerja yang menunjukkan pekerjaan atau peristiwa yang terjadi pada saat dituturkan (sekarang) atau sesudahnya (akan datang). Misalnya يَصلُحُ . Dinamakan Mudhari’karena menyerupai isim. Tanda-tanda Mudhari’adalah dapat dimasuki oleh sin السين dan saufa سوف . Juga dapat dimasuki oleh huruf jazm dan Nashb لم, لا الناهية, لام الأمر , إنْ , أَنْ, لَنْ. Dan kadang bentuknya Mudhari’namun berarti Madhi, apabila dimasuki oleh Lam, misalnya, لم يحضر (belum/tidak datang). Hukum I’rab fiíl Mudhari’ adalah Mu’rab (berubah harakah ahir hurufnya) selama tidak dimasuki oleh Nun Taukid نون التوكيد dan Nun Niswah نون النسوة.
  3. Fi’il Amar فعل الأمر yaitu kata yang menunjukkan tuntutan tercapainya pekerjaan tersebut setelah masa pengungkapan. Contohnya, seorang ayah atau kawan dan lain-lain memerintahkan kepada seseorang untuk belajar, dia mengatakan = تعلَّمْ Belajarlah, atau اقرأ bacalah, atau انْطَلِقْ pergilah. Atau اسْتَغْفِر bertobatlah. Tanda-tanda fiíl amar adalah dapat dimasuki oleh Nun Taukid نُونَ التَّوكيد adalah huruf Nun pada akhir kata yang berfungsi untuk menunjukkan kesungguhan dan ketegasan tuntutan. Nun Taukid ada dua macam yaitu Khafifah (ringan) dan Tsaqilah (berat). Perbedaan keduanya dari segi bentuk adalah Nun Taukid Khafifah berbaris sukun ـنْ, sedangkan Nun Taukid Tsaqilah bertasydid dan berharakat fathahـنَّ . atau Ya Al Mukhatabah ياء المخاطبة adalah huruf Ya sukun di akhir kalimat sebagai kata ganti orang kedua perempuan; yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa tuntutan ditujukan kepada perempuan. Contohnya, قُوْمي = (Kamu perempuan), Bangunlah!, dari asal katanya untuk laki-laki قُمْ, dan اُكْتُبي = (Kamu perempuan), Menulislah!, dari asal kata perintahnya untuk laki-laki اكتب. Kedua kata aslinya yang untuk laki-laki adalah Fi’il karena menunjukkan tuntutan dan bisa menerima Ya Mukhathabah. Dan dua kata yang untuk perempuan adalah Fi’il dengan ditandai dengan masuknya Ya Mukhathabah dan menunjukkan makna tuntutan. Hukum fiíl amar dalam I’rab adalah Mabni.
Dari semua penjelasan di atas tadi, dapat disimpulkan Tanda-tanda Fi’il yang paling utama, baik Fiíl Madhi, Mudhari’dan Amar secara umum ketika berada dalam struktur kalimat adalah:
  1. Kata tersebut didahului oleh قد .
  2. Tanda Fi’il yang kedua adalah suatu kata itu didahului Huruf Sin السينُ atau Huruf Saufa سوفَ.
  3. Tanda Fi’il ketiga adalah Ta Ta’nis Sakinah تاءُ التَّأنيث السَّاكنَة yaitu huruf Ta sukun yang masuk pada akhir kata. Tanda ini hanya untuk Fi’il Madhi saja dan fungsinya adalah untuk menunjukkan bahwa Isim yang terpaut dengan Predikat ini berbentuk feminin (muannas).
  4. Tanda Fi’il keempat adalah suatu kata yang menunjukkan makna tuntutan dan kata tersebut bisa menerima Ya Mukhathabah ياء المخاطبة atau Nun Taukid نُونَ التَّوكيد.

Huruf الحرف

Huruf adalah jenis kata yang berfungsi sebagai kata bantu, yaitu kata yang mengandung makna yang tidak berdiri sendiri. Maknanya hanya bisa diketahui dengan bersandingan dengan kata lain, baik Isim atau Fi’il
Tanda Huruf adalah tidak menerima tanda-tanda Isim atau tanda-tanda Fi’il, atau dengan ungkapan lain, Huruf adalah tanpa tanda pengenal. Kalau kita mengenal Jim dengan titik di bawah dan Kha dengan titik di atas, kita mengenal Ha tanpa titik. Demikian juga, kita mengenal jenis kata Isim dan Fi’il dengan tanda-tanda yang telah disebutkan di atas, maka kita mengenal jenis kata Huruf tanpa tanda dan tidak menerima tanda-tanda Isim atau Fi’il.
Kata yang termasuk dalam jenis Huruf ini terbagi bermacam-macam sesuai dengan fungsinya yang mempengaruhi status kata yang dimasukinya, sesuai dengan fungsi maknanya, dan terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Huruf yang dapat masuk ke Isim maupun Fiíl, dan huruf tersebut tidak mempunyai kedudukan apa apa dalam I’rab. Contoh, kata Hal هَلْ dalam وَهَلْ أَتَاكَ حديث الغاشية.
2. Huruf yang dikhususkan pada isim, dan huruf tersebut mempunyai fungsi serta kedudukannya dalam I’rab. Contoh, huruf Inna إنّ dan Fi في, dalam Al Quran : إنّ الله يحب الذين يقاتلون في سبيله.
3. Huruf yang dikhususkan tehadap Fiíl dimana huruf-huruf tersebut mempunyai kedudukan dan fungsi dalam I’rab. Contoh, huruf Nashab dan Jazam.
I’RAB الإعراب dan BINA البناء
I. Al BINA البناء
Bina adalah suatu keharusan dimana harakah (baris) akhir dari suatu kata tidak akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh factor-faktor yang merubah harakah dan kedudukan kata, atau simpelnya, Bina adalah kata yang tidak berubah harakah akhir hurufnya. Contohnya, kata aina أينَ (dimana) dan amsi أمْسِ (kemarin), dimana baris (harakah) akhirnya tidak akan pernah berubah.
Macam-macam Bina البناء
Tanda-tanda bina suatu kata dalam I’rab terbagi menjadi empat, yaitu:
  1. Sukun السُّكونُ yaitu tidak adanya harakah, yang mana terdapat pada huruf, fiíl serta isim, contoh mabni dengan sukun dari huruf هلْ , dan dari fiíl, قمْ , dan dari isim, كمْ .
  2. Fatha الفَتْحُ , berbaris atas dengan fatha, hal ini pun terdapat pada Isim, contohnya أينَ , dan Huruf, contohnya سوفَ , juga pada Fi’il, contohnya, قامَ .
  3. Kasrah الكَسْرُ berbaris bawah dengan kasrah, terdapat pada Isim, contohnya أمْسِ dan huruf, contohnya huruf Lam Al Jarr لامِ الجر misalnya dalam kalimat المالُ لِزَيْدٍ .
  4. Dhamma الضَّمُّ berbaris atas dengan Dhamma, terdapat pada huruf, contohnya منْذُ dan isim yang menunjukkan arah misalnya تحتُ dengan syarat harus Idhafah secara makna tanpa Lafadz.
Bentuk-bentuk Mabni
Setelah mengetahui macam-macam tanda bina, seyogyanyalah untuk mengetahui apa-apa saja dari Isim, Fi’il dan Huruf yang Mabni agar tidak salah dalam menempatkan letak serta hukumnya dalam suatu kalimat.
A.Huruf الحُرُوفُ
Semua huruf adalah Mabni, baik dengan Fatha seperti وَ، كَ، ف، ثمَّ ,maupun Sukun, seperti منْ، في، إلى، هلْ , dan Kasrah seperti لِـ (لتكتبْ درسك، جئت لأشكرَك)، بِـ (كتبت بالقلم) , dan juga Dhamma sperti منذُ.
B. Af’al الأفعال
Semua Fi’il adalah Mabni kecuali Fi’il Mudhari’ yang tidak dimasuki oleh salah satu dari Nun Niswah نون النسوة maupun Nun Taukid نُونَ التَّوكيد .
Bentuk-bentuk Bina Fi’il Madhi
Fatha: Jika tidak berhubungan dengan kata apa pun, contohnya سمعَ , تكلمَ atau Fi’il tersebut bergandengan dengan Ta Ta’nis تاء التأنيث contohnya فهمَتْ , جلستْ atau Fi’il tersebut berhubungan dengan Al Alif Al Itsnain ألف الاثنين yang menunjukan dua orang, contohnya ذهبا، قاما، سعيا. Sukun: Apabila fi’il tersebut bergandengan dengan Dhamir yang kedudukannya adalah marfu’ sebagai subjek misalnya Ta mutakallim dan sebagainya, atau fi’il tersebut bergandengan dengan Nun Niswah, contohnya سمعْتُ، سمعْنا، سمعْتَ، سمعْتِ , سمعْتما، سمعْتُنّ، سمعْنَ. سعيْت، سعيْنا, سعيْتما، سعيْتُنَ. Dhamma: Apabila Fi’il tersebut berhubungan dan bergandengan dengan Wau Al Jama’ah (yang menunjukkan jamak muzakkar salim=laki-laki), contohnya سمعُوا، فهمُوا.
Bentuk-bentuk Bina Fi’il Mudhari’
Fi’il Mudhari’ Mabni apabila dimasuki oleh salah satu dari Nun Taukid dan Nun Niswah, dan tanda bina nya adalah, Sukun: Apabila berhubungan dengan Nun Niswah, contohnya يسمعْنَ، يقرأْنَ، يمشيْنَ، يدعوْنَ . Fatha: Apabila berhubungan langsung dengan Nun Taukid yang disandarkan kepada Mufrad Muzakkar, contohnya, لِتسمعَنْ، لتدعوَنّ.
Bentuk-bentuk Bina Fi’il Amar
Adapun Bina nya Fiíl Amar yaitu, Sukun: Apabila huruf terakhirnya bukan huruf Illat (Alif, Wau dan Ya) dan tidak berhubungan dengan kata apa pun, contoh افهمْ، اسمعْ , atau berhubungan dengan Nun Niswah, contoh أطعْنَ، ادنوْنَ، اسعيْنَ. Fatha: Apabila berhubungan dengan Nun Taukid, contohnya افهمَنْ، اسمعَنّ، ادعوَنْ وادعوَنّ. Khazfu Nun (dihilangkan huruf Nunnya): Apabila berhubungan dengan Alif Itsnain yang menunjukkan Mutsanna, atau Wau Jamaáh yang menunjukkan Jamak Muzakkar Salim atau Ya Al Mukhathabah, contohnya, ارعيا، اقنعوا، اقنعي. Khazfu harfu illah (meniadakan huruf Illatnya): Apabila huruf akhir dari fiíl adalah huruf illah, contohnya, ارعَ، ادعُ، امشِ.
C. Al Asma الأسماءُ

  1. Dhamair الضَّمائِرُ (Pronauns) atau kata ganti baik orang pertama tunggal dan sebagainya yang terbagi menjadi Munfashil (terpisah) yang terbagi menjadi Rafa’dan nasab (kedudukannya dalam I’rab) contoh Rafa’ أنا، نحن، أنتَ، أنتما، أنتم، أنتِ، أنتما، أنتنَّ , هوَ، هما، همْ، , هيَ, هما، هنَّ Contoh Nashab : إيّاي، إيانا، إيّاكَ، إياكما، إياكم، إِياكِ، إياكما، إياكنّ، .dan Muttashil (berhubungan) juga terbagi menjadi Rafa’, Nashab, dan Jarr .Contoh Rafa’(تاء), (نا) قرأتُ, قرأنا. Contoh Nashab, ياء orang yang berbicara, سمعني. كاف (lawan berbicara) misalnya حدثك. Atau هاء (terhadap orang ketiga tunggal) misalnya, أعطيته. Contoh Jarr, Ya (ياء) (orang yg berbicara) misalnya كتبي , Ha هاء (orang ketiga tunggal) misalnya بيتهُ. Kaf كاف (lawan berbicara) misalnya كتابك.
  2. Kata Sambung أسْماءُ المَوْصُولِ seperti الذي (berarti yang untuk sesuatu atau seorang yang menunjukkan Muzakkar = laki-laki), التي (untuk Muannats atau perempuan), الذينَ (jamak Muzakkar) اللاتي، اللاتِ، اللواتي (jamak muannas).
  3. Kata Tanya الاسْتِفْهَامِ , seperti Man=siapa مَنْ (untuk yang berakal), Ma=apa ما (yang tidak berakal) mata=kapan متى (untuk waktu) Aina=di mana أينَ (untuk tempat).
  4. Isim yang menunjukkan pada bunyi-bunyian dan suara, seperti suara bayi dan juga suara binatang, contoh إسَّ وهِسَّ، وهجْ (suara kambing/mengembik), هلا (suara kuda), كِخْ (suara tangisan bayi). Dan sebagainya.
  5. Isim (kata benda) yang mengandung arti fi/íl (kata kerja), contohnya, صهْ، مهْ (cukup!), حيَّ (terimalah), أفٍّ (makian), ويْ (makian), هيهاتَ (jauh). Dan lain-lain yang mengandung makna fiíl.
  6. Sebagian dari keterangan waktu dan tempat, contoh إذْ، إذا، الآنَ، حَيْثُ، أمْسِ.
  7. Isim yang menunjukkan syarat أسْماءُ الشَّرْط , contoh مَنْ, مهما, متى, حيثما, كيفما, أيْ, أيّانَ.

II. AL I’RAB الإعراب
I,rab adalah kebalikan dan lawan dari Bina, dimana harakah (baris) akhir dari suatu kata akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh factor-faktor yang merubah harakah dan kedudukan kata dalam kalimat. Yang mana tanda-tanda I’rab itu terbagi menjadi dua, ada tanda yang asli dan farí (bukan asli).
Tanda Asli dari I’rab adalah Dhamma الضمةُ untuk Rafa’, Fatha الفتحةُ untuk Nashab, Kasrah الكسرة untuk Jarr, dan Sukun السكون untuk Jazam. Tanda-tanda ini ada yang dikhususkan untuk Isim dan Fiíl saja yaitu Rafa’dan Nashab, contohnya dalam kalimat المؤمنُ يتقنُ عمله Rafa’ (dibaca dhamma pada ahir harakatnya) kata Mu’min dan yutqinu dengan Dhamma, contoh lain dari yang Nashab, إنّ القطارَ لن يغادرَ قبل المساء Nashab Isim Qitara karena dimasuki Inna (huruf Nashab isim dan rafa’khabarnya) dan Fiíl Yughadir dengan Fatha karena dimasuki oleh haruf nashab yaitu Lan. Dan dari tanda-tanda I’rab tersebut ada juga yang dikhususkan terhadap isim yaitu Jarr, contohnya في مسجدِ المدينةِ عالم Kata masjidi dibaca kasrah karena di dahului huruf Jarr dan kata Madinah di baca kasrah karena Idhafaf. Adapun tanda Jazam dikhususkannya kepada Fiíl, contohny لم يفزْ بالنجاح كسول kata yafuz di sukunkan karena dimasuki oleh huruf jazam.
Tanda-tanda Farí dari I’rab yaitu suatu harakat mengganti kedudukan harakat lainnya seperti kasrah mengganti fatha pada Jamak Muzakkar Salim dan fatha menggantikan kasrah pada Mamnu’min As sharf. Atau kedudukan harakah digantikan oleh huruf, misalnya Wau menggantikan dhamma pada jamak muzakkar salim. Dan kesemuanya itu dapat diperincikan secara garis besarnya (baik harakah yang menggantikan posisi harakah lainnya maupun huruf yang menggantikan kedudukan dari harakah) di bawah ini:
A. Harakah yang menggantikan kedudukan harakah lainnya
  1. Jamak Muannas Salaim (perempuan) جمع المؤنث السالم yaitu yang menunjukkan lebih dari dua (muannats) dengan menambahkan Alif ألف dan Ta تاء pada akhir katanya. Untuk menjadikan suatu isim mufrad menjadi jamak muannats salim, maka isim tersebut Pertama: haruslah menunjukkan kepada nama-nama perempuan, mislanya jamak dari Zainab الزينبا, jamak dari Hindun الهندات , jamak dari Maryam المريمات. Kedua: Isim yang diakhiri dengan tanda-tanda Ta’nits (feminis) baik Ta , Alif Maqsur dan Mamdud , contohnya فاطمة jamaknya adalah الفاطمات, حمزة jamaknya adalah الحمزات , سماء jamaknya سماوات , كبرى jamaknya كبريات . Ketiga: Isim dalam bentuk Tashgir, contohnya kata Dirham yang telah di Tashgir menjadi Duraihim maka jamaknya adalah دُريهمات . Keempat: Isim yang terdiri dari lima huruf yang belum pernah didengar Jamak Taksirnya (tidak beraturan), misalnya kata إسطبل (kandang kuda) jamaknya إسطبلات, dan kata حمّام (Wc) jamaknya adalah حمامات . Jamak Muannats Salim ini, apabila kedudukannya Manshub dalam kalimat maka alamat I’rabnya adalah kasrah menggantikan fatha.
  2. Mamnu’Min As Sharf الممنوع من الصرف Isim yang tidak diikutkan dengan Tanwin atau kasrah, olehnya itu apabila ia Majrur karena dimasuki oleh salah satu huruf Jarr maka I’rabnya adalah Majrur dengan Fatha pengganti kasrah. Adapun yang termasuk dalam Mamnu’Min As Sharf ini adalah, Pertama: nama-nama Ajami seperti إسماعيل، إبراهيم، إسحاق , Kedua: Nama-nama ajam yang terdiri dari dua kata, misalnya حضرموت، بعلبك, Ketiga: Isim yang ditambahkan Alif dan Nun pada akhirnya, misalnya رضوان، سلمان, Keempat: Isim yang timbangannya menyerupai timbangan Fiíl, contohnya أحمد، يزيد، يشكر, Kelima: Atu dalam timbangan Fu’al seperti, عُمَر، زُحَل، هُبل، عُصَم, Keenam: Isim yang bertimbangan Fa’laan فَعْلان misalnya غضبان، عطشان ,Ketujuh: Isim yang bertimbangan Afála أفعل misalnya أحمر، أصغر ,Kedelapan: Isim yang di akhir katanya adalah Alif Mamdudah atau Maqshurah, contohnya حسناء، أصدقاء، أطباء، حبلى، مصطفى ,Kesembilan: Bentuk Muntaha Jumuk, misalnya مساجد، عمائر، دوائر، قناديل. Kata-kata yang termasuk Mamnu’ Min As Sharf ini apabila dimasuki oleh salah satu huruf Jarr maka hukumnya majrur dengan Fatha pengganti kasrah, namun apabila ia dimasuki oleh AL atau ia Idhafah (bersandar pada kalimat lain) maka hukumnya tetap majrur dengan Kasrah, contohnya: في المساجدِ قناديل, karena kata masajid dimasuki oleh AL.
B. Harakah digantikan oleh Huruf
  1. Mutsanna المثنى yaitu yang menunjukkan kepada dua (bernyawa atau tidak bernyawa), antara tunggal dan jamak. Yang ditambahkan Alif ألف dan Nun نون pada akhir katanya untuk menunjukkan hukumnya sebagai Marfu’, contohnya رجلان , dan menambahkan Ya ياء dan Nun نون pada akhir katanya yang menunjukkan Jarr atau Nashab, contohnya رجلين. Adapun untuk mengetahui bentuk-bentuknya adalah pembahasan dalam Ilmu Sharf.
  2. Jamak Muzakkar Salim جمع المذكر السالم yang menunjukkan tiga atau lebih dengan menambahkan Wau واو dan Nun نون pada kondisi Marfu’ contohnya مسلمون , dan menambahkan Ya ياء dan Nun نون pada kondisi Majrur dan Manshub, contohnya مسلمين.
  3. Asma Sittah الأسماء الستة yaitu أب (bapak), أخ (saudara lk), حم (panan), ذو (yg mempunyai), فو (mulut), هن (sesuatu). Tanda Marfu’nya dengan Wau الواو contohnya حضر أبو علي , Manshub dengan Alif الألف, contoh ورأيتُ أبا علي , dan Majrur dengan Ya الياء contohnya مررتُ بأبي علي. Syarat-syaratnya adalah haruslah tunggal (mufrad) tidak boleh mutsanna (dua) dan Jamak. Syarat lainnya adalah harus Idhafah, contohnya حضر أبوه. Dan tidak boleh jika bentuknya tashgir, contohnya أّخيُّه صغير.
C. I’rabnya dengan menghapus atau menghilangkan hurufnya
  1. Al Af’al Al Khmasa الأفعال الخمسة yaitu setiap Fi’il yang berhubungan dengan Alif Itsnain (mutsanna), atau Ya Al Mukhatabah, atau Wau Jama’ah. Dinamakan Af’al Khamsa karena bentuknya ada lima yaitu, تفعلان، يفعلان، تفعلين, يفعلون، تفعلون. Hukum I’rab Fi’il yang lima ini adalah menghilangkan huruf Nun nya apabila Ia Mnshub atau Majzum, contohnya هذه الدار يريد التاجران أن يشتريا dihilangkan Nun pada kata Yasytariyani karena manshub dengan huruf nashb. Atau majzum karena dimasuki oleh huruf jazm seperti contoh di bawah ini لا تشتريا هذه الأرض.
  2. Mudhari’ Mu’tal Akhir, yaitu fi’il mudhari’ yang huruf akhirnya adalah huruf Illat (alif, wau dan ya). Apabila ia berada pada posisi Majzum maka hukumnya adalah majzum dengan menghapus huruf illatnya, contohnya يدعو dan يخشى apabila dimasuki oleh huruf jazm لم يدعُ أحدا dihilangkan huruf wau nya خالد لم يخشَ أعداءه. Dihilangkan huruf ya nya.
Macam-macam I’rab
I’rab terbagi menjadi tiga macam, yaitu I’rab Dhahir (nampak) إعراب ظاهر, I’rab Muqaddar (tersembunyi) إعراب مقدر dan I’rab Mahalli إعراب محلي (berdasarkan tempat dan kedudukan dalam kalimat).
I’rab Dhahir إعراب ظاهر adalah nampak dan terlihatnya tanda-tanda I’rab seperti kasrah, dhamma dan fatha pada akhir suatu kata, contohnya في المساجدِ dimana terlihat dengan jelas kasrah pada kata masajidi. I’rab Muqaddar yaitu tidak nampaknya tanda-tanda I’rab dengan jelas pada akhir kata disebabkan oleh beratnya lidah untuk menyebutkannya atau terdapat uzur dalam penyebutan atau karena maksud menempatkannya pada suatu posisi dengan harakat yang sesuai ataupun karena dimasuki oleh huruf jarr tambahan (zaid). Dan semua itu terdapat pada:

    1. Isim Manquush الاسم المنقوص yaitu isim yang diakhiri dengan huruf Ya dan huruf sebelumnya kasrah, contoh القاضي muqaddar atas dhamma dan kasrah karena berat penyebutannya.
    2. Isim Maqshur الاسم المقصور yaitu isim yang diakhiri dengan Alif dan huruf sebelumnya adalah fatha, contohnya الفتَى dalam kalimat حضر الفتى atau ومررتُ بفتىً I’rabnya adalah dengan menyembunyikan semua harakatnya karena ada uzur.
    3. Isim yang disandarkan kepadanya Ya Mutakallim, contohnya كتابي semua harakatnya disembunyikan karena kedudukannya dengan harakat yang sesuai.
    4. Isim yang dijarr dengan huruf jarr tambahan, contohnya ما حضر من أحدٍ.
    5. Fi’il Mudhari’ yang huruf akhirnya adalah huruf illat, baik huruf akhirnya adalah Ya dan sebelumnya kasrah misalnya يمشي، يبني , ataukah huruf akhirnya adalah Wau sebelumnya dhamma, contohnya يدعو، يغزو, maupun huruf akhirnya Alif dan fatha sebelumnya, misalnya يرعى، يخشى, maka tanda I’rabnya adalah muqaddar karena ada uzur yang menghalangnya.
I’rab Mahalli إعراب محلي yang berdasarkan tempat dan kedudukan suatu isim dalam kalimat, dan kebanyakan terdapat pada semua isim yang mabni, contoh dari kata penunjuk هذا كريم , contoh dari kata penghubung أكرمت الذي نجح.


Nakirah (النكرة) dan Ma’rifat (المعرفة)
Nakirah (النكرة) adalah yang tidak dimaksudkan kepada sesuatu yang tertentu atau dengan kata lain nakirah adalah sesuatu yang belum tentu dan pasti, contohnya kata manusia (إنسان) dan laki-laki (رجل) apabila kedua kata tersebut belum jelas ketentuannya, manusia yang manakah atau lelaki yang mana. Sedangkan Ma’rifat (المعرفة) adalah susatu yang pasti dan dimaksudkan kepada susuatu yang tertentu, yang terbagi menjadi tujuh bagian yaitu Dhamir, álam, kata penunjuk, kata penghubung, kata yang ber alif lam (أل), bersandar pada ma’rifah , munada (panggilan=dimasuki oleh huruf nida).
Dhamir (ضمائر) adalah kata yang menunjukkan kepada mutakallim (orang pertama tunggal) atau mukhatab (lawan berbicara) dan ghaib (orang ketiga). Yang terbagi menjadi dhamir Munfashil (terpisah) yaitu dhamir yang boleh dimulai dengannya pada awal kalimat atau terletak setalh Illa (kecuali). Dan dhamir muttashil (bersambung) yaitu dhamir yang bersambungan dengan kata lain, contoh dhamir munfashil, saya (أنا), kamu laki-laki (أنتَ), kami/kita (نحن), dia laki-laki (هو), dia perempuan (هي), mereka (هم) kesemuanya adalah dhamir muttashil yang menempati kedudukan rafa’/marfu’dalam kalimat, adapaun yang menempati nashab yaitu saya (إيّاي), kamu (إيّاكَ), mereka (إياهم) dst. Contoh dhamir muttashil, Ta yang menunjukkan saya (تاء= قرأتُ), Na menunjukkan kita (=قرأنا نا) dan seterusnya.
Al ‘alam (العلم) adalah kata yang menunjukkan sesuatu pada zatnya yang meliputi Kunyah (gelar) yaitu kata yang dimulai dengan ibn, abu atau umm, contohnya (أبو بكر), (ابن الوردي), (أم المؤمنين). Laqab (gelar) yang menunjukkan kebaikan atau memuji dan keburukan atau penghinaan, contohnya (الفاروق =yang dapat membdakan baik dan buruk) dan (الأعشى =yang cacat matanya). Ataupun nama-nama orang selain kuniyah dan laqab, baik yang tunggal maupun yang tersusun dari dua kata, contohnya (أحمد), (هند), (مكة), dan (عبدالله).
Kata penunjuk (اسم الإشارة) yaitu kata yang menunjukkan pada sesuatu yang tertentu baik dekat ataupun jauh, contoh (هذا =ini lk), (هذ ه =ini pr), (ذلك =itu lk) dan (تلك =itu pr).
Kata penyambung (الاسم الموصول) yaitu kata yang menunjukkan pada susuatu yang tertentu yang berhubungan, contohnya (الذي =yang lk) dan (التي =yang pr).
Alif Lam (أل) yaitu isim nakirah yang dimasuki oleh alif dan lam, dan menjadikan sesuatu itu menjadi tertentu (ma’rifat), contohnya kata buku (كتاب) yang belum diketahui buku yang mana maka ditambahkan alif dan lam guna menunjukkan buku tertentu menjadi (الكتاب).
Isim yang disandarkan pada isim ma’rifah yaitu isim nakirah didhafkan (disandarkan) pada isim ma’rifat yang menyebabkan isim tersebut menjadi ma’rifat, contohnya (هذا كتاب عليٍّ =ini bukunya Ali), kata kitab dalam contoh ini adalah nakirah namun karena diidafhkan pada isim ma’rifat yaitu Ali maka kata kitab dengan sendirinya menjadi ma’rifat.
Munada (لمنادى) yaitu memanggil dengan maksud menentukannya sehingga ia menjadi ma’rifat, contohnya (يا بائعُ) dan (يا عبدَاللهِ).

I’rab Fi’il Mudhari’
I’rab Fi’il Mudhari’ ada tiga yaitu Nashab, Jazam dan Rafa’. Dinashabkan Mudhari’ apabila dimasuki oleh salah satu dari huruf Nashab yaitu, An أنْ contohnya وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ , Lan لن, contohnya قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ , Izan إذن contohnya أريد أن أزورك. إذن أُكرمَك , Kay كي, contohnya فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا. Fi’il Mudhari’ juga dinashabkan dengan An yang tersembunyi setelah Lam لِتَغْفِرَ لَهُمْ, atau Hatta حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ, atau Fa sababiah لم تعملْ فتكسبَ, atau Athaf kepada isim sebelumnya.
Fi’il Mudhari’ itu Majzum apabila didahului oleh salah satu dari pada huruf jazam, yaitu Lam لم dan Lamma لمّا,contohnya لم يسافرْ زيد، لما يعُدْ عليٌّ. Lam لام الأمر yang menunjukan perintah, contoh لتحكمْ بين الناس بالعدلِ. La لا الناهية yang menunjukkan larangan, contohnya لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى. Dan Fi’il Mudhari’ juga majzum apabila di masuki oleh salah satu dari huruh Syarth.
Apabila Fi’il Mudhari’ kosong dari huruf Nashab dan Jazam maka I’rabnya tetaplah Rafa’/ marfu’.

Sabtu, 10 April 2010

Upaya Memperoleh Ilmu yang Bermanfaat

Setiap muslim diwajibkan mencari ilmu agama dan pengetahuan agar ia dapat menjalankan serangkaian ibadahnya dengan benar dan tertib. Dengan mengharap ridho dari Allah swt, seorang tholibul ilmi (pencari ilmu), terus berusaha giat, gigih, sabar dalam upaya mendapat sebagian ilmu yang dibutuhkan untuk kemudian diamalkannya. Nabi Muhammad saw berpesan: “Jadilah kamu orang yang alim atau orang yang mengaji ilmu atau orang yang mendengarkan ilmu atau orang yang cinta ilmu, jangan menjadi nomor lima (tidak alim, tidak mengaji, tidak mendengarkan ilmu, tidak mencintai ilmu), maka kamu akan binasa”. Betapa pentingnya dan besar manfaatnya apabila seseorang mengerti, memahami dan mencintai ilmu, terutama ilmu-ilmu agama, seperti ushuluddin, fikih dan tasawuf.
Pada umumnya, sebagian murid tampak kesulitan untuk mendapatkan sejumlah ilmu pengetahuan, padahal mereka sudah berusaha keras untuk meraihnya. Kemungkinan besar karena adanya faktor-faktor penghambat, dari diri individu dan juga di luar dirinya. Fisik dan psikis yang kurang fit, misalnya, bisa menyebabkan konsentrasi belajar menjadi terganggu. Ditambah pula lingkungan sekitar yang tidak kondusif, biasanya, akan mengakibatkan anak-anak tidak fokus terhadap pelajaran yang disampaikan guru atau ustadz. Atau justru karena adanya pengaruh negatif dari keluarga si pelajar, boleh jadi menimbulkan ketidakjernihan pikiran para murid di madrasah, sekolah, atau lembaga pendidikan lainnya.
Dalam kitab Ta’lim Muta’alim disebutkan bahwa cara seorang santri tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan bekal enam perkara, yaitu: cerdas, bersemangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan guru, dan waktu yang lama. Perkara-perkara itu hanya sebagian dari tahap untuk mendapatkan ilmu, dan tentu masih banyak hal-hal yang lain agar pengetahuan –dengan mudah–digapai para pelajar. Diceritakan bahwa Abu Hanifah pernah berkata: “Aku memperoleh ilmu karena aku selalu memuji dan bersyukur kepada Allah. Jika aku dapat mengerti suatu masalah, maka aku mengucapkan alhamdulillah. Oleh karena itulah ilmuku bertambah.”
Demikian juga apabila seorang muslim mendapat nikmat, karunia, anugerah, petunjuk, pertolongan dari Allah, maka dia seharusnya banyak mengucapkan syukur. Sebagaimana friman Allah:  “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7). Indera manusia, misalnya mata, mulut, tangan dan sebagainya, merupakan anggota tubuh yang vital untuk dipergunakan sebagai sarana beribadah, beramal soleh mengharapkan pahala dari Allah, serta agar semakin bertambah rasa syukur kepada-Nya. Dalam Al-Quran (Surat An Nahl: 78) ditegaskan: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Cerdas merupakan syarat memperoleh ilmu, berarti bahwa seorang santri atau murid seyogyanya menggunakan pikiran, akal dan segala kemampuan lain yang dimilikinya untuk berpikir, merenung, belajar, dan mengasah otaknya, ketika mendalami berbagai bidang ilmu, baik ilmu diniyyah maupun dunyawiyyah. Orang bijak berkata bahwa tidak ada istilah bodoh atau pandai dalam tahap pembelajaran, yang adalah malas atau rajin. Maksudnya, walaupun seorang murid dianggap pandai, menguasai di pelajaran matematika umpamanya, namun jika dia tidak rajin belajar atau tidak mengasah/melatih kecerdasannya, tentu dia pun mungkin saja menjadi lupa tentang materi yang telah dikuasainya. Dengan kata lain, seorang mukmin wajib berusaha memaksimalkan segala hal yang sesuai dengan kemampuannya, keahliannya, dan Allah-lah yang berhak mengabulkan atau menunda segala permohonan hamba-hamba-Nya. Allah telah memberi jaminan: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya” (QS. 75: 17). Dari itu, pelajar tidak perlu takut, keliru dan salah setiap kali mempelajari satu bab ilmu. Dengan niat ikhlas karena Allah, diiringi usaha yang serius, insya Allah ilmu dapat segera dipahami oleh para murid atau santri.
Di samping cerdas, bersemangat termasuk salah satu cara sang murid cepat memperoleh ilmu. Semangat yang kuat dan rajin serta aktif merupakan motivasi yang kuat dari dalam pribadi murid. Dengan adanya spirit yang tinggi, maka biasanya kendala, halangan apapun akan dihadapi dengan mudah, tabah, sehingga ketika ada problem, jalan keluarnya bisa segera ditemukan. Wujud dari motivasi ini misalnya, si murid harus selalu menyiapkan alat-alat yang dipakai saat belajar berlangsung seperti pena, buku, kitab dan lain-lain, serta selalu hadir dalam majils ilmu. Contohnya lagi, jika ada satu masalah berkaitan dengan bab-bab yang tidak dimengerti, murid yang aktif akan bertanya kepada sang guru, langsung atau tidak langsung.
Semangat pelajar, seharusnya terus menyala-nyala setiap saat seperti semangatnya para muslimin di zaman Nabi ketika menghadapi para musuh. Dalam hal ini, Al Quran menyebutkan: “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti QS. Al Anfaal: 65).
Bersabar dalam menuntut ilmu, adalah cara yang lumayan susah. Karena tidak setiap murid dapat bertahan terhadap kendala tertentu. Kendala ini bisa berbentuk berbagai macam, mulai urusan pribadi, keluarga, persahabatan, masyarakat bahkan tentang percintaan. Yang jelas, dengan rasa penuh sabar dan berpikir posisif dan yakin bahwa Allah akan memberikan pertolongan, maka segala masalah akan terpecahkan atas kehendak-Nya. Karena itu saling menasehati sangat dianjurkan agar mendapat kesabaran sehingga tidak menjadi orang yang merugi. Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. 103: 2 dan 3).
Allah menyuruh kita senantiasa bersabar atas kehendak-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya: “Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nnya) bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur (QS. Asy Syuura: 33). Selain bersikap sabar, di antara cara-cara yang harus ditempuh agar suatu usaha berhasil adalah
1) menguasai bidang usaha yang dilaksanakannya
2) berusaha sungguh-sungguh
3) melandasi usahanya dengan niat ikhals karena Allah
4) berdoa kepada Allah agar memperoleh pertolongan-Nya.
Selian bersabar, cara lain yang menyebabkan ilmu dapat diperoleh adalah adanya bekal yang cukup. Orang awam beranggapan bahwa mencari ilmu itu mahal sehingga tak jarang mereka lebih mementingkan mencari harta daripada ilmu. Sebenarnya itu tidak dijualbelikan seperti hal yang barang. Namun, untuk mendapatkan bermacam-macam ilmu, memang harus mengeluarkan bekal yang cukup. Seperti biaya, pakaian, dan alat-alat penunjang belajar lainnya. Allah berfirman: “…Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS. 2: 197). Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji. Jadi, seperti ibadah haji, mencari ilmu pun harus memiliki bekal agar konsentrasi belajar diharapkan lebih efektif sehingga berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan serta ketrampilan yang dipelajari si murid, dapat dicapainya tanpa menemui halangan yang rumit.
Ketahuilah, sungguh sangat luas kalimat (ilmu) Allah, sehingga seseorang tidak akan mampu menguasai segala ilmu-Nya, melainkan hanya sedikit. Hal itu sesuai dengan firman Allah: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Lukman: 27). Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: \”Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (QS. Al Israa: 85). Karena banyaknya ilmu, maka perlu waktu yang panjang dan proses yang lama, bahkan sepanjang hayat untuk mendalami satu atau beberapa bidang ilmu tentang dunia dan akhirat.
Di samping bersabar dalam mencari ilmu, si murid juga sepatutnya menghormati guru karena ilmunya. Mari lihat kisah yang mengandung hikmah yang baik. Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari cerita-cerita dalam surat al–Kahfi ini antara lain tentang kesungguhan seseorang dalam mencari guru (ilmu), adab sopan-santun antara murid dengan guru; seperti kisah nabi Musa as dengan Khidzir as. “Dia berkata: \”Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu\” (QS. 18: 70). “Khidhr berkata: \”Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?\” (QS.18: 75). Seorang murid hendaknya menghormati guru, dengan cara mendengarkan penjelasannya, dan juga bersabar atas materi yang belum dimengerti murid sampai sampai sang guru menerangkan satu atau beberapa ilmu. Ustadz (guru) yang alim seyogyanya dimuliakan oleh para santrinya. Hal ini bukan berarti bahwa sang guru senang dihormati atau sanjung, akan tetapi lebih pada menghormati ilmu-ilmu yang dikuasainya.
Umumnya, para murid, santri, pelajar, atau anak didik, menganggap bahwa untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan dapat didapatkan dengan waktu singkat, padat dan instant serta mudah nyatol di kepala. Tak sedikit pencari ilmu mogok di tengah jalan (drop out, keluar), karena mereka tidak betah, bosan, belajar di lembaga pendidikan seperti sekolah, madrasah, dan pesantren sehingga mereka belum mendapatkan ilmu yang dipelajarinya. Sungguh disayangkan apabila penyakit malas telah mengidap di dada para pelajar muda/remaja, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka akan sadar dan menyesal apabila kelak pengetahuan yang dimiliki terasa miskin, sedikit. Tetapi kesempatan untuk mengejar pelajaran makin sempit.
Menuntut ilmu yang cukup lama, tidak berarti seseorang yang siang malam belajar melulu, namun, dia seharusnya bertahap, sedikit demi sedikit, dari yang pelajaran mudah ke tingkat yang lebih tinggi atau sulit, yang penting istiqomah, terus menerus, konsisten. Nabi saw bersabda: “Amal yang paling disukai Allah adalah amal yang dilakukan secara terus menerus sekalipun sedikit”. Jadi, menggali ilmu secara kontinu meski sedikit, dan didasari dengan ikhlas, maka diharapkan seorang pelajar dapat memperoleh ilmu yang manfaat dan berkah.  Dan semoga Allah memberikan hidayah, pertolongan dan balasan yang baik kepada setiap insan yang berbuat kebaikan. Mari renungkan firman Allah ini: “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya…(QS. Huud: 3). Akhirnya, kepada-Nya kita bertawakkal, berserah diri setelah kita berusaha dengan sebaik-baiknya. Dan kita memohon agar Allah senantiasa menganugerahi kepada ilmu-ilmu cukup, bermanfaat dan berkah. Amin. Waallahu a’lam@

http://tanbihun.com/pendidikan/upaya-memperoleh-ilmu-yang-bermanfaat/

Tanda-Tanda Ilmu Yang Bermanfaat

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas (www.almanhaj.or.id)


Ilmu yang bermanfaat dapat diketahui dengan melihat kepada pemilik ilmu tersebut. Di antara tanda-tandanya adalah:
[1]. Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli terhadap keadaan dan kedudukan dirinya serta hati mereka membenci pujian dari manusia, tidak menganggap dirinya suci, dan tidak sombong terhadap orang lain dengan ilmu yang dimilikinya.
Imam al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih hanyalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya, dan rajin dalam beribadah.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya, dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah Ta’ala ajarkan kepadanya.” [1]
[2]. Pemilik ilmu yang bermanfaat, apabila ilmunya bertambah, bertambah pula sikap tawadhu’, rasa takut, kehinaan, dan ketundukannya di hadapan Allah Ta’ala.
[3]. Ilmu yang bermanfaat mengajak pemiliknya lari dari dunia. Yang paling besar adalah kedudukan, ketenaran, dan pujian. Menjauhi hal itu dan bersungguh-sungguh dalam menjauhkannya, maka hal itu adalah tanda ilmu yang bermanfaat.
[4]. Pemilik ilmu ini tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu dan tidak berbangga dengannya terhadap seorang pun. Ia tidak menisbatkan kebodohan kepada seorang pun, kecuali seseorang yang jelas-jelas menyalahi Sunnah dan Ahlus Sunnah. Ia marah kepadanya karena Allah Ta’ala semata, bukan karena pribadinya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya sendiri di atas seorang pun. [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah membagi ilmu yang bermanfaat ini -yang merupakan tiang dan asas dari hikmah- menjadi tiga bagian. Beliau rahimahullaah berkata, “Ilmu yang terpuji, yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]
Ilmu Ini Ada Tiga Macam:
[1]. Ilmu tentang Allah, Nama-Nama, dan sifat-sifat-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Contohnya adalah sebagaimana Allah menurunkan surat al-Ikhlaash, ayat Kursi, dan sebagainya.
[2]. Ilmu mengenai berita dari Allah tentang hal-hal yang telah terjadi dan akan terjadi di masa datang serta yang sedang terjadi. Contohnya adalah Allah menurunkan ayat-ayat tentang kisah, janji, ancaman, sifat Surga, sifat Neraka, dan sebagainya.
[3]. Ilmu mengenai perintah Allah yang berkaitan dengan hati dan perbuatan-perbuatan anggota tubuh, seperti beriman kepada Allah, ilmu pengetahuan tentang hati dan kondisinya, serta perkataan dan perbuatan anggota badan. Dan hal ini masuk di dalamnya ilmu tentang dasar-dasar keimanan dan tentang kaidah-kaidah Islam dan masuk di dalamnya ilmu yang membahas tentang perkataan dan perbuatan-perbuatan yang jelas, seperti ilmu-ilmu fiqih yang membahas tentang hukum amal perbuatan. Dan hal itu merupakan bagian dari ilmu agama. [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah juga berkata, “Telah berkata Yahya bin ‘Ammar (wafat th. 422 H), ‘Ilmu itu ada lima:
(1). Ilmu yang merupakan kehidupan bagi agama, yaitu ilmu tauhid
(2). Ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu tentang mempelajari makna-makna Al-Qur-an dan hadits
(3). Ilmu yang merupakan obat agama, yaitu ilmu fatwa. Apabila suatu musibah (malapetaka) datang kepada seorang hamba, ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu
(4). Ilmu yang merupakan penyakit agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan
(5). Ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang sepertinya.’” [5]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Sunan ad-Darimi (I/89)
[2]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 55-57).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80-Mawaarid), ini lafazh Ahmad, dari Shahabat Abu Darda' radhiyallaahu ‘anhu.
[4]. Majmu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XI/396,397 dengan sedikit perubahan). Lihat kitab Muqawwimaat ad-Daa’iyah an-Naajih, hal. 18, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani.
[5]. Majmuu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/145-146) dan Siyar A’laamin Nubalaa’ (XVII/482)

ILMU YANG BERMANFAAT

Ilmu yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya ada yang memberikan manfaat ada pula yang tidak. Di sisi lain, ada pula ilmu yang pada asalnya sama sekali tidak memberikan manfaat, sehingga manusia harus menjauhinya.

Allah telah menyebut ilmu dalam kitab-Nya Al Qur’an terkadang dengan memujinya seperti dalam surat Az Zumar ayat 9:
“Katakanlah, adakah sama antara orang-orang yang mengetehui dengan orang-orang yang tidak mengetehui? Sesungguhnya orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu. Segolongan berperang di jalan Allah dan yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang muslim dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”. (QS.Ali Imran:13)

Terkadang Allah menyebutnya dengan celaan. Ilmu yang Allah puji itu adalah ilmu yang bermanfaat dan yang Allah cela adalah ilmu yang asalnya tidak bermanfaat, atau bisa jadi pada asalnya bermanfaat, tapi orang yang dikaruniainya tidak bisa mengambil manfaat darinya. Sebagaimana Allah beritakan tentang sebuah kaum yang Allah beri ilmu namun ilmu itu tidak memberi mereka manfaat.
Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amat buruklah kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim”. (QS. Al Jumuah: 5)

”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami. Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (hingga dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat”. (QS. Al A’raf: 175)

Dalam ayat ini maksudnya ilmu itu sesungguhnya bermanfaat akan tetapi orang yang dikaruniai tidak bisa memanfaatkannya. Adapun ilmu yang pada dasarnya dicela oleh Allah adalah seperti tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 102 dan surat Ar Rum ayat 7.

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan pada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah kamu kafir.

Maka mereka mempelajari dari dua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka itu tidak memberi mudharat kepada seorangpun dengan sihirnya kecualin atas izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa menukar kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya di akherat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menukar dirinya dengan sihir kalau mereka mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 102)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akherat adalah lalai". (QS.Ar Rum: 7)

Karena ilmu itu ada yang terpuji yaitu yang bermanfaat dan ada yang tercela yaitu yang tidak bermanfaat, maka kita dianjurkan untuk memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindung kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf: 11-13)

Ilmu yang Bermanfaat

Ibnu Rajab Al Hanbali menjelaskan tentang ilmu yang bermanfaat. Beliau mengatakan, pokok segala ilmu adalah mengenal Allah subhanahu wa ta'ala yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dekat terhadap-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya dari perbuatan, perkataan, keadaan, atau keyakinan hamba.

Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Ia, dengan itu, akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang puas, dan do’a yang mustajab. Sebaliknya yang tidak mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia akan terjatuh ke dalam empat perkara yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung darinya. Bahkan ilmunya menjadi bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil manfaat darinya karena hatinya tidak khusyu’ kepada Allah subhanahu wa ta'ala, jiwanya tidak merasa puas dengan dunia, bahkan semakin berambisi terhadapnya. Doanyapun tidak didengar oleh Allah karena ia tidak merealisasikan perintah-Nya serta tidak menjauhi larangan-Nya dan apa yang dibenci-Nya.

Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka ilmu itu tidak bermanfaat dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih besar dari manfaatnya.

Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan benar ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta memahami maknanya sesuai dengan yang ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu mempelajari apa yang datang dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan semacamnya, serta berusaha mepelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari apa yang telah disebutkan.

Kemudian berusaha untuk mengetahui makna-maknanya dan memahaminya. Apa yang telah disebut tadi sudah cukup bagi orang yang berakal dan menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf Alal Khalaf 41, 45, 46, 52, 53)

Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada seseorang dengan tanda-tandanya, yaitu:
1. beramal dengannya.
2. benci disanjung, dipuji dan takabbur atas orang lain.
3. semakin bertawadhu’ ketika ilmunya semakin banyak.
4. menghindar dari cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. menghindar untuk mengaku berilmu.
6. bersu’udzan (buruk sangka) kepada dirinya dan husnudzan (baik sangka) kepada orang lain dalam rangka menghindari celaan kepada orang lain.
(Lihat Fadl Ilm Salaf Hal. 56-57 dan Hilyah Thalib Ilm Hal. 71)

Sebaliknya ilmu yang tidak bermanfaat juga akan nampak tanda-tandanya pada orang yang menyandangnya yaitu:
1. tumbuhnya sifat sombong, sangat berambisi dalam dunia dan berlomba-lomba padanya, sombong terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan perhatian manusia kepadanya.
2. mengaku sebagai wali Allah subhanahu wa ta'ala. Atau merasa suci diri.
3. Tidak mau menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada orang yang mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan manusia, serta tetap dalam kebatilan.
4. menganggap yang lainnya bodoh dan mencacat mereka dalam rangka menaikkan dirinya di atas mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan berburuk sangka kepada ulama yang terdahulu.
(Lihat Fadl Ilm Safaf: 53, 54, 57, 58) 


http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=24

Kamis, 08 April 2010

Tips Membuka Usaha Baru

Demikian juga ketika anda membuka usaha atau bisnis. Anda harus memulainya dengan apa yang anda sukai yang melambangkan diri anda sesungguhnya. Berikut kami memberikan tips membuka usaha atau bisnis yang akan menjadi perwujudan diri anda sesungguhnya :

1. Gagasan usaha haruslah berasal dari diri anda.

  • Perhatikan talenta, bakat, hobi dan minat anda : tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melakukan sesuatu yang menjadi kesukaan.
  • Pengalaman kerja : keahlian dan pengetahuan yang kita peroleh di waktu lalu akan sangat menolong kita memulai usaha sejenis di masa depan.

2. Miliki gagasan bisnis yang jelas. Gagasan bisnis (misalnya bisnis PH Production House) anda harus memiliki focus, konkrit, mudah dikerjakan, telah diketahui kebutuhan pasarnya, pendanaan tidak terlalu besar hingga anda dibelit hutang dan terakhir setiap langkahnya harus sederhana untuk bisa dilakukan.

3. Masuki pasar dengan membawa perbedaan.
Anda dapat memasuki pasar yang telah ada dengan menawarkan sesuatu yang lebih berkualitas, unik dan memiliki nilai tambah. Sedikit nilai tambah dan keunikan usaha justru dapat menjadi perbedaan besar bagi usaha anda.

4. Carilah mentor, mitra usaha dan komunitas. Pelajaran terbaik bisnis PH Production anda diperoleh melalui pengalaman, nasehat dan kegagalan pihak lain. Pengetahuan manajemen PH Production, keuangan, pemasaran dan masalah teknis akan lebih baik jika diperoleh dari mereka yang telah memiliki pengalaman terbang. Mentor, kemitraan, komunitas usaha atau asosiasi membuat anda lebih kuat menghadapi tantangan dan masalah ketika merintis usaha baru.

5. Mulailah dengan operasi berskala kecil. Jangan percaya sesuatu yang besar selalu lebih baik. Usaha sehat justru adalah usaha berskala kecil yang kemudian mengembang, bukan usaha yang langsung dijalankan dengan skala besar. Usaha PH Production berskala kecil juga menjadi guru terbaik karena menjadi tempat belajar menangani masalah dari yang paling sederhana.

6. Jangan lekas percaya tawaran waralaba atau franchise serta keagenan.
Waralaba atau keagenan biasanya berarti suatu langkah yang terbukti untuk bisa dijalankan, adanya dukungan pemasaran dan pengakuan dari segi nama. Namun sebagai pembeli nama perlu waspada. Yakinkan anda telah melakukan penelitian dengan seksama sehingga anda tidak perlu membayar sesuatu yang dapat anda lakukan seorang diri.

http://www.jawaban.com

"""" Perangkat Lunak Komputer """

Makalah; Perangkat Lunak Komputer

March 18, 2009 · Posted in Informasi, Makalah & Skripsi, Teknologi & Komputer 
Daftar Segera
Butik Games Blog Kontes 2010
Th 2002 Silver, Terawat, Mulus
Hub William 0815 9965499
  biindit value
PENDAHULUAN
Perangkat Lunak
Merupakan program-program komputer dan dokumentasi yang berkaitan,
Produk perangkat lunak dibuat untuk pelanggan tertentu ataupun untuk pasar umum
Produk perangkat lunak tersebut:
Generik – dibuat untuk dijual ke suatu kumpulan pengguna yang berbeda
Bespoke (custom) – dibuat untuk suatu pengguna tunggal sesuai dengan spesifikasinya.
Rekayasa Perangkat Lunak:
adalah suatu disiplin rekayasa yang berkonsentrasi terhadap seluruh aspek produksi perangkat lunak.
mengadopsi pendekatan yang sistematis dan terorganisir terhadap pekerjaannya dan menggunakan tool yang sesuai serta teknik yang ditentukan berdasarkan masalah yang akan dipecahkan, kendala pengembangan dan sumber daya yang tersedia
Proses Perangkat Lunak
Sekumpulan aktifitas yang memiliki tujuan untuk pengembangan ataupun evolusi perangkat lunak.
Aktifitas generic dalam semua proses perangkat lunak adalah:
Spesifikasi – apa yang harus dilakukan oleh perangkat lunak dan batasan/kendala pengembangannya
Pengembangan – proses memproduksi sistem perangkat lunak
Validasi – pengujian perangkat lunak terhadap keinginan penggunak
Evolusi – perubahan perangkat lunak berdasarkan perubahan keinginan.

Model Proses Perangkat Lunak

Suatu representasi proses perangkat lunak yang disederhanakan, dipresentasikan dar perspektif khusus
Contoh perspektif proses:
Perspektif Alur-kerja (workflow) -  barisan kegiatan
Perspektif Alur Data (Data flow) – alur informasi
Perspektif Peran/Aksi – siapa melakukan apa.
Model proses Generik:
Waterfall (Air terjun)
Pengembangan secara evolusi
Transformasi formal
Model SPiral
Integrasi daru komponen yang reusable
Biaya rekayasa perangkat lunak
Sekitar 60% untuk biaya pengembangan, 40% biaya pengujian. Untuk perangkat lunak berbasis pengguna (custom), biaya evolusi biasanya melebihi biaya pengembangan.
Biaya beragam tergantung pada tipe sistem yang akan dikembangkan dan kebutuhan sistem seperti unjuk kerja dan kehandalan sistem,
Distribusi biaya bergantung pada model pengembangan yang digunakan.
Metode Rekayasa Perangkat Lunak
Pendekatan terstruktur pengembangan PL termasuk model sistem, notasi, perancangan dan petunjuk pemrosesan,
Deskripsi Model: deskripsi pemodelan dengan grafik,
Aturan: Batasan yang digunakan pada model sistem
Rekomendasi: nasihat bentuk perancangan yang baik,
Petunjuk proses: Aktifitas yang harus diikuti,

Atribut Perangkat Lunak yang baik:

PL seharusnya memberikan pengguna kebutuhan fungsionalitas dan unjuk kerja yang dapat di rawat, berguna,
Maintanability (Dapat Dirawat)
PL harus dapat memenuhi perubahan kebutuhan
Dependability
PL harus dapat dipercaya
Efisiensi
PL harus efisien dalam penggunaan resource
Usability
PL harus dapat digunakan sesuai dengan yang direncanakan

Proses Perangkat Lunak

Suatu proses model adalah suatu representasi abstrak suatu model. Proses model menampilkan suatu deskripsi suatu proses dari beberapa perspektif tertentu,
Proses PL merupakan aktifitas yang saling terkait (koheren) untuk menspesifikasikan, merancang, implementasi dan pengujian sistem perangkat lunak.
Model Proses PL yang Generic
Model Air terjun (Water fall)
Memisahkan dan membedakan antara spesifikasi dan pengembangan
Pengembangan yang berevolusi
Spesifikasi dan pengembangan saling bergantian
Pengembangan sistem Formal
Menggunakan suatu model sistem matematika yang ditransformasikan ke implementasi,
Pengembangan berbasis Re-use (penggunaan ulang)
Sistem dibangun dari komponen yang sudah ada.

Model Air Terjun (Water Fall)

Fase Model Air Terjun
1.Analisis Kebutuhan dan pendefinisiannya
2.Perancangan sistem dan Perangkat Lunak
3.Implementasi dan unit testing
4.Integrasi dan pengujian sistem
5.Pengoperasian dan perawatan
Proses kembali ke state sebelumnya untuk mengantisipasi perubahan setelah proses menuju ke suatu state di bawahnya adalah sangat sulit.

Masalah pada Model Air Terjun:

Partisi projek ke stages yang berbeda tidak fleksibel.
Hali ini mengakibatkan sulitnya untuk merespon perubahan kebutuhan pengguna
Oleh sebab itu model ini hanya cocok digunakan apabila kebutuhan pengguna sudah dimengerti dengan baik,
Pengembangan yang berevolusi (Evolutionary Development)
Pengembangan yang berdasarkan penyidikan
Tujuannya untuk mengaktifkan pengguna dan memperolah model final berasal dari initial spesifikasi awal. Seharusnya diawali dengan kebutuhan yang sudah dimengerti,
Throw-away prototyping
Tujuannya adalah untuk memahami kebutuhan sistem. Biasanya diawali dengan pemahaman kebutuhan yang minim.
Permasalahan dalam model pengembangan yang berevolusi:
Kekurangan visibilitas proses
Model sistem biasanya tidak terstruktur
Membutuhkan kemampuan khusus (mis.: bahasa pemrograman untuk rapid prototyping).
Pemakaian model pengembangan yang berevolusi
Untuk sistem interaktif yang kecil atau menengah
Untuk salah satu bagian dari sistem yang besar (mis. User Interface)
Untuk sistem yang digunakan tidak terlalu lama (short lifetime).
Pendekatan pengembangan sistem Formal
Berbasiskan pada transformasi spesifikasi secara matematik melalui representasi yang berbeda untuk suatu program yang dapat dieksekusi,
Trasformasi menyatakan spesifikasi program
Menggunakan pendekatan ‘Cleanroom’ untuk pengembangan PL.
Pengembangan menggunakan konsep Re-use (Penggunaan Ulang)
Proses dengan metode Iterasi
Model Iterasi dapat digunakan pada setiap model proses generic
Terdapat dua pendekatan:
Pengembangan Incremental
Model Spiral
Model Pengembangan Incremental
Pengembangan sistem berdasarkan model sistem yang dipecah sehingga model pengembangannya secara increament/bertahap
Kebutuhan pengguna diprioritaskan dan priritas tertinggi dimasukkan dalam awal increment
Setelah pengembangan suatu increment dimulai, kebutuhan dibekukan dulu hingga increment berikutnya dimulai
Keuntungan
Nilai penggunan dapat ditentukan pada setiap increament sehingga fungsionalitas sistem disediakan lebih awal,
Increment awal berupa prototype untuk membantu memahami kebutuhan pada increment berikutnya,
Memiliki risiko lebih rendah terhadap keseluruhan pengembagan sistem,
Prioritas tertinggi pd pelayanan sistem adalah yang paling diuji.
Model Pengembangan Spiral
Proses direpresentasikan sebagai model spiral (bukan berupa barisan aktfitas yang dapat ditrack mundur)
Setiap loop dalam model spiral menyatakan fase proses,
Tidak terdapat fase tertentu seperti spesifikasi atau perancangan, tetapi loop dalam spiral ditentukan pada apa yang dibutuhkan,
Sektor pada model Spiral
Menentukan Tujuan
Mengidentifikasikan spesifikasi tujuan setiap fase
Menilai Resiko dan Pengurangannya
Resiko dinial dan aktifitas ditempatkan untuk mengurangi resiko kunci
Pengembangan dan validasi
Suatu model pengembangan sistem dipilih dari model generic
Perencanaan
Project di review dan fase spiral berikutnya direncanakan

Spesifikasi Perangkat Lunak

Proses untuk menentukan pelayanan (servis) apa yang dibutuhkan dan kendala-kendala pengoperasian sistem serta pengembangannya,
Proses Rekayasa Kebutuhan
Studi Kelayakan
Analisis kebutuhan
Spesifikasi Kebutuhan
Validasi spesifikasi

Proses Rekayasa Kebutuhan

Perancangan dan Implementasi Perangkat Lunak
Proses konversi sistem spesifikasi ke sistem yang dapat dieksekusi langsung
Perancangan Perangkat Lunak
Perancangan Struktur Perangkat Lunak
Implementasi
Translasi struktur ke dalam bentuk program
Aktifitas perancangan dan implementasi berhubungan dekat dan dapat saling berinteraksi
Aktifitas dalam Perancangan:
Perancangan Arsitektur
Spesifikasi Abstrak
Perancangan Interface
Perancangan Komponen
Perancangan Struktur Data
Perancangan Algoritma
Proses Perancangan Perangkat Lunak
Metode Perancangan
Pendekatan sistematis untuk merancang perangkat lunak
Perancangan biasanya didokumentasikan dengan model grafik
Beberapa model yang dapat digunakan:
Data Flow Model
Model relasi atribut entitas
Model terstruktur
Model Object
Pemrograman dan Debug
Translasi perancangan ke dalam pemrograman dan menghilangkan error dari program
Pemrograman adalah aktifitas personal – tidak terdapat model program generic
Pemrogram melakukan beberapa program testing untuk menemukan fault dalam program dan menghilangkan fault tersebut dalam proses debug.

Validasi Perangkat Lunak

Verifikasi dan validasi bertujuan menunjukkan bahwa sistem sesuai dengan spesifikasinya dan yang diinginkan pengguna
Melibatkan proses pengujian dan review sistem
Pengujian sistem melibatkan eksekusi sistem dengan menggunakan kasus tes yang ditentukan dari spesifikasi data real yang akan diproses oleh sistem.
Stage Pengujian Perangkat Lunak
Unit Testing: Pengujian Komponen-komponen secara individu
Modul Testing: Pengujian terhadap komponen yang saling berhubungan,
Sub-system Testing: Pengujian terhadap module-module sistem yang saling berhubungan. Fokus pada pengujian interface.
System Testing: Pengujian keseluruhan sistem,
Acceptance Testing: Pengujian yang dilakukan oleh pengguna untuk melihat apakah sistem sudah dapat diterima.

Evolusi Sistem

Perangkat lunak pada dasarnya sangat fleksibel dan mudah berubah
Karena adanya perubahan kebutuhan melalui perubahan proses bisnis dan teknologi, maka perangkat lunak yang mendukung kegiatan bisnis tersebut juga mengalamai perubahan
Walaupun demikian diharapkan perubahan proses bisnis tersebut berdampak pada perubahan yang sedikit terhadap perangkat lunak (re-engineering).
 

http://radensomad.com/makalah-perangkat-lunak-komputer.html